“Kita asyik dengan pertarungan militer, sukses menempa hati ikhlas, berhasil menciptakan cinta mati syahid. Tetapi, kita lalai memikirkan kekuasaan (politik). Kita tak sepenuh hati menggelutinya. Kita masih memandang bahwa politik adalah barang najis. Akhirnya, kita sukses mengubah arah angin; kemenangan dengan pengorbanan yang mahal bisa kita raih. Tetapi, menjelang babak akhir, saat kemenangan siap dipetik, musuh-musuh melepaskan tembakan ‘rahmat’ untuk menjinakkan kita.” (Tokoh Jihad Afghan-Arab)
Kalimat di atas dikutip syaikh Hazim Al-Madani dalam Hakadza Naral-Jihad (begini jihad yang kami pahami). Ia sering mendengar ungkapan itu sejak dulu kala. “Kalimat itu sangat populer di kalangan mujahidin Afghan, ada yang sepakat dan ada pula yang tidak,” demikian kenangnya. Kini, ia mulai menemukan relevansinya ketika banyak merenungkan perkembangan gerakan jihadis akhir-akhir ini. Berikut lanjutan refleksinya: “Sayap siyasi yang aku maksud bukanlah politik kotor yang dipamerkan para penyembah dunia; politik yang mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan; politik yang menyamarkan kebenaran atau menguranginya. Tidak, sekali lagi tidak. Politik yang aku maksud adalah politik yang kita baca dari cara Nabi SAW dalam mengelola umat; baik dalam masalah sosial, dakwah, dan jihad di medan tempur. Kita mempunyai teladan yang baik dalam persoalan ini.” Menurut syaikh, lalai dalam perundangan ini hanya akan menghantarkan generasi berganti generasi tanpa ujung. Karena begitulah perundangan Rasulullah. Bukankah ada hukum sebab akibat? Dan bukankah kita diperintahkan untuk ahdzul asbab? (menempuh prosedur kemenangan). Dan beliau menegaskan tentang ‘ujung’ dari perjuangan dalam kalimat berikut: “…Masa depan kita bukanlah semata-mata cita-cita egoistis untuk mati syahid, bukan pula semata sukses melewati ujian dunia. Masa depan kita adalah masa depan yang akan kita wariskan kepada generasi penerus. Sebuah kekuasaan di bawah naungan Al-Qur’an dan bukan kekuasaan konstitusi manusia. Karenanya, kita wajib mengorbankan segenap jiwa dan raga untuk menggapainya.” Tulisan beliau, di samping sebagai pengingat atas kealpaan kelompok pergerakan, juga semacam lecutan untuk ‘melek’ politik (siyasy). Meski sekali lagi politik dimaksud bukanlah politik kotor. Bukan politik kalah menang. Politik di sini lebih ke “tata kelola” atau semacam “political”. Menurutnya, kehidupan memiliki dua sayap: pengelolaan secara internal (political) dan pemeliharaan dari gangguan eksternal (militer). Dan di antara ahdzul asabab adalah apabila kita menggunakan kedua sayap itu sekaligus tanpa meninggalkan salah satu dari keduanya. Adalah sebuah realitas bahwa gerakan-gerakan jihad di dunia lebih maju di ranah “militer” dan belum di ranah siyasy. Meski demikian, bahan baku dari perjuangan ini adalah militer. Beliau menulis: “Pertarungan politis ini mutlak membutuhkan kekuatan (militer). Sebab, dalam keyakinan kami tak ada bahan baku yang pas untuk membangun kejayaan umat Islam kecuali militer. Tak bisa diganti yang lain. Mercusuar politik di gedung parlemen—candu sosial—yang dengannya umat Islam mabuk sama sekali bukan jalan kami. Perubahan sama sekali tak berhubungan dengannya. Inti dari politik ala parlemen adalah sikap larut, terwarnai, dan kompromi dengan kebatilan. Rabb kita tak merestui jalan seperti ini, tidak menerimanya sebagai amal saleh, tidak pula mengiringinya. Justru, Rabb kita akan membiarkannya hingga selangkah demi selangkah para pelakunya akan masuk dalam lembah kebingungan dan kesesatan. Kebingungan yang ia tak mampu keluar darinya.” Refleksi-refleksi di atas, selaras dengan apa yang pernah ditulis oleh Abu Muhammad Al-Maqdisy dalam Waqafat Ma’a Tsamratil-Jihad. Beliau juga prihatin atas ketidaksiapan kelompok jihadis memimpin negeri. Beliau sangat sedih saat mendengar jawaban panglima mujahidin terkenal dalam sebuah jumpa pers ketika ditanya, “Apakah ia akan mengambil alih pemerintahan saat negerinya dibebaskan?” Dan jawabnya, “Tidak.” Sang panglima berargumen bahwa mereka adalah mujahid. Hidup mereka didedikasikan untuk memerangi musuh Allah di mana saja berada. Adapun kekuasaan politik, ia mengaku bukan ahlinya. Dan argumen itu, menurut Maqdisy adalah cacat; baik secara syar’i maupun aqly. Bukankah mereka selama ini kelompok pembebas negeri muslim? Bagaimana mungkin saat kemerdekaan bisa diraih, mereka membiarkan kelompok fajir tampil memimpin? Dan itulah jihad tamkien dalam istilah beliau. Jihad yang bertujuan membebaskan sebuah wilayah agar umat Islam bebas menjalankan syariatnya. Beliau membedakan dengan jihad nikayah yang ditujukan untuk memukul musuh yang menindas umat Islam di manapun dan kapan pun. Kedua-duanya tentu adalah amal saleh, tak ada maksud membeda-bedakan dalam dua ketegori ini. Dan untuk mewujudkan tamkien, syaikh Maqdisy mensyaratkan bahwa gerakan Islam perlu memiliki visi jauh ke depan juga kemampuan dan pengalaman untuk menapakinya. Mereka haruslah himpunan dari ulama rabbani, para da’i, dan mujahid yang shidiq. Jadi bukan sekadar semangat. Saatnya kelompok pergerakan memikirkan hal ini. Bahwa jihad adalah seumpama war (perang) dan bukan sekadar battle (tempur). “War” tentu medannya menjadi sangat luas dan komprehensif. Upaya-upaya untuk mengelola ragam kekuatan, ragam potensi, menjadi tuntutan yang tak bisa dihindarkan. Semua disinergikan dalam satu tujuan iqamatud-dien (menegakkan agama). Sebagai pungkasan, Syaikh Hazim menegaskan bahwa sifat pertarungan adalah lintas generasi dan bukan satu generasi. Semangat untuk memetik buah sebelum matang sama dengan gagal memanen plus tak ada yang bisa diwariskan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
No Response to "Political jihad"
Posting Komentar